Rasa yang Terjaga
Nurul Hasanah
Pagi ini mentari bersinar terang seolah
menunjukan kebahagiaan. Sinarnya masuk menerangi jiwa yang membutuhkan cahaya.
Aku bersyukur bisa kembali menikmati keindahan ini. Hari ini libur sekolah,
setelah membereskan rumah aku kembali ke kamar sambil mendengarkan musik yang kuputar di ponsel. Kunikmati
musik itu hingga mampu menenggelamkan dalam sebuah khayal dan kenangan, menyeretku pada rasa
yang sampai saat ini tak bisa diungkapkan padanya. Aku tersenyum, rupanya rasa
itu masih tersimpan rapi di sudut kenangan, bersampul harapan yang tidak bisa
terwujudkan. Fahri, ya aku kembali ingat waktu perkenalan dan kebersamaan
dengannya. Rasa Hangat menerobos jiwa, kenyamanan kembali terasa, tidak jarang
aku pun merindukan itu semua.
Awal masuk SMA aku mengikuti Organisasi Intra Siswa.
Waktu itu aku melihat beberapa lelaki yang duduk bersebelahan denganku. Aku
tidak tahu siapa mereka, yang aku tahu mereka satu organisasi denganku. Aku juga
tidak terlalu memperhatikan mereka, baik itu namanya, alamatnya, maupun
kelasnya. Lagipula(,) untuk apa aku sekepo
itu pada mereka(?)
Hari terus berganti, hingga pada suatu malam ada
seseorang yang hadir dalam kehidupan dan mampu menancapkan rasa sampai
sekarang.
"Assalaamu'alaikum, ini Zahra Azusena yang ikut Organisasi OSIS
ya?"
Sebuah pesan mendarat di ponselku. Fahri Haidar, nama itu yang
berhasil aku baca di atas pesan yang dikirimkan. Tanpa berpikir panjang aku
menjawab pesan itu, kemudian aku melihat sejenak profilnya,"Oh rupanya
Fahri anak OSIS juga," gumamku.
Perkenalan terus berlanjut, menanyakan tempat
tinggal, asal sekolah, hobi, hingga membicarakan hal yang tidak penting. Malam
berikutnya kami selalu bertukar kabar di messenger,
dan satu hal yang tidak pernah dia lupakan adalah ucapan selamat malam dan
menyuruhku agar tidak tidur terlalu malam. "Good
night have a nice dream." Pesan singkat itu selalu berhasil mengukir
senyuman di bibirku. Menghadirkan bahagia di kala akan mulai memejamkan mata.
Entahlah(,) aku tidak tahu obat apa yang
Fahri berikan hingga begitu membuatku ketergantungan. Seperti ombak yang
menemani pantai siang dan malam, seperti bulan yang menjaga bumi, dan seperti
buku yang membutuhkan pensil, aku rasa semakin hari kami semakin akrab. Saling
menyapa, menemani, berbagi suka duka, mengukir tawa, dan menuliskan kisah dalam
lembar kehidupan. Sungguh membahagiakan.
Lama kelamaan aku mulai merasa ada yang aneh
dengan rasaku, rasa yang tidak bisa kupahami,
memaksa keluar ingin diucapkan. Aku resah akan rasaku, aku tidak tahu pasti
apakah itu cinta atau rasa nyaman belaka. Jika aku mengungkapkannya, aku takut hubungan kami akan berubah. Jika aku diam saja, rasa ini selalu membuatku resah. Dengan sekuat tenaga aku menyembunyikan ini
semua, menyamarkan rasa yang hadir dalan ikatan persahabatan. Benar kata orang,
tidak ada persahabatan yang murni antara laki-laki dan perempuan, pasti ada
satu pihak yang menyimpan perasaan.
Percakapan tiap malam selalu ada, Fahri selalu
mengabariku. Tidak bosan dia bercerita semua hal padaku. Membagi kisah, membagi
mimpi, atau hanya sekadar bertukar
pikiran. Fahri menceritakan kenakalannya dulu, baik itu merokok ataupun membolos. Hingga tiba di
suatu waktu Fahri memberitahuku ingin berubah menjadi lebih baik lagi.
"Andai saja Ibu tahu sikapku dulu, kenakalanku di luar sana, pasti ibu sangat kecewa," Sesal Fahri.
"Gak papa, yang penting
jangan diulangi lagi, masih ada waktu untuk berubah," ucapku.
"Zahra, aku ingin berubah. aku sudah besar dan aku ingin membahagiakan
keluargaku," ucap Fahri.
Aku bahagia mendengarnya. Manusia selalu mempunyai sisi baik dan
buruk. Sebaik apapun pasti pernah melakukan kesalahan dan seburuk apapun
seseorang dia berhak mendapatkan pengampunan dan peluang untuk berubah. Aku
selalu yakin akan hal itu, maka dari itu aku tidak pernah memandang seseorang
itu buruk. aku pikir semua ada masanya, pasti
jika waktunya tiba mereka akan berubah, begitupun dengan Fahri.
Pengakuan Fahri mampu membuatku begitu bahagia,
dan tanpa kusadari rasa yang semula hanya
benih kecil kini mulai tumbuh besar, dipupuk
oleh komunikasi, disiram oleh mimpi yang aku harap menjadi nyata. Bukan hanya
Fahri yang berbagi cerita, aku pun
membagi ceritaku termasuk impian bersekolah di Universitas Al-Azhar, menjadi
Guru Sejarah, dan menceritakan keadaan di kampungku.
Namun sayangnya keakraban kami hanya sebatas di
media sosial, di dunia nyata kami jarang bertutur-sapa. Gemas sekali rasanya.
Hatiku selalu memaksa agar aku menyapa terlebih dahulu, namun rasa keingingan itu terkalahkan oleh rasa gengsi yang
ada didalam diri. "Masa sih cewek
mengungkapkan rasa duluan, masa sih nyapa duluan, tengsin lah," gumamku. Yang kini kulakukan hanyalah berdoa memohon yang terbaik dari yang maha
kuasa. Tidak bosan doa itu selalu kuulangi setiap harinya. Seperti resep obat dari
doktor, ku ulangi hampir lima kali sehari di setiap usai solat.
"Ya Alloh, aku menyayangi Fahri, ingin bersama Fahri. Jika Fahri
jodohku, pertahankanlah. Jika bukan jodohku, maka lapangkanlah hatiku. Sungguh aku ingin
bersamanya. Semoga doaku dikabulkan."
Lirihku setiap usai solat.
Langit yang cerah mulai mendung, awan hitam
menutupi cahaya mentari, semesta seolah mengaminkan doaku.
Ketika malam tiba, tidak ada rembulan yang
menerangi, awan hitam masih menguasai, namun percakapan antara kami di media
sosial tidak terhenti. Entah apa yang mendorongku berani menanyakan hal yang
begitu privasi di kehidupan Fahri.
"Eh, ngomong-ngomong kenapa kamu putus sama Nisa?" tanyaku .
Nisa adalah pacar Fahri dulu, aku tahu itu waktu stalking sosial media Fahri.
"Gimana ya, aku kasihan sama dia," jawab Fahri.
"Kenapa kasihan?" tanyaku keheranan.
"Jadi gini ya, aku suka sama
cewe lain selain dia." Jawab Fahri
Mendengar jawaban itu hatiku berdegup kencang,
harapan seolah akan segera terwujudkan. Aku begitu bahagia, namun tetap
berusaha menetralkan diri.
"Siapa?" Tanyaku lagi.
"Teman SMP dulu, sudah lama aku menyukainya, namun dia masih
mempunyai pacar. Oh ya, katanya dia juga sempet mau tunangan tapi gak jadi. Waktu aku tahu dia putus, aku mendekatinya, eh
sayangnya sekarang dia malah pacaran sama orang lain,"
Jawab Fahri.
Jawaban Fahri membuatku terhempas jauh dari alam kebahagiaan. Ucapannya
berhasil menjatuhkanku ke jurang yang amat dalam, membawaku ke dasar samudera
yang sangat gelap. Pipiku kini dihujani air mata, semesta seolah tertawa
menyaksikan kebodohanku. Aku gagal lagi menjaga hatiku. Fahri yang kukira akan jadi pengobat luka
justru karenanya aku kembali digoresi luka. Aku kira dia menjadikanku rumah
namun ternyata hanya di jadikan tempat singgah. Rumahnya adalah wanita itu,
teman SMP-nya.
"Sadarlah, lihat pacarnya saja dia putuskan karena dia masih
menaruh rasa pada temamnnya, lalu aku siapa? Dengan lancangnya aku mengharapkan
Fahri memiliki rasa yang sama," Lirihku.
Malam begitu hening, binatang malam tidak
bersuara seolah merasakan kepiluanku. Hatiku retak, rasaku rusak. Aku benci
keadaan seperti ini, keadaan yang membuatku sangat rapuh. Aku pun bingung harus berbuat apa, apakah harus
menjauh atau tetap menjadi teman berceritanya.
Jika aku menjauh tidak baik kelihatannya, hanya karena sebuah rasa
kenapa pertemanan harus dirusak? Jika
aku terus menemaninya pasti aku akan sulit memghilangkan rasa yang kini ada.
Sungguh aku sangat bingung.
Dengan sekuat tenanga aku berusaha bersikap biasa saja, menjadi teman
berceritanya, meski memang hati terasa terluka.
Aku mencoba membunuh paksa rasa yang ada secepatnya, menenggelamkannya dalam
genangan air mata, dan membiarkan rasa yang ada larut dalam derasnya tetesan
air mata. Aku tahu ini sulit, tapi harus bagaimana lagi, aku juga belum bisa
jauh darinya. Dalam doa aku masih
mengharapkannya, melantunkan pinta yang sama agar bisa bersama Fahri selamanya. Aku akui ini egois, mengharapkan
orang yang tidak sama sekali mengharapkanku. Aku tahu ini salahku, aku sendiri
yang menorehkan luka ini. Tidak jarang aku pun menangis, menyesali rasa dan mengutuk diri sendiri.
Kuseka air
mata, lalu kubisikan sesuatu pada diriku.
"Sudahlah jangan diingat lagi, itu hanya kisah lampau yang patut kau
jadikan pelajaran, Zahra. Berdamailah
dengan dirimu sendiri, lepaskan rasa itu, kamu tidak bisa bersama dengan Fahri.
Mungkin kamu dan Fahri bisa beriringan dalam berbagi cerita, tapi tidak bisa
beriringan dalam memulai cerita bahagia. Syukuri apa yang kamu miliki saat ini,
perjuangkan orang yang kini ingin memperjuangkanmu. Hargai setiap orang yang
kini bersamamu, jangan kecewakan mereka karena rasamu pada Fahri, dan yang
terpenting jangan sakiti dirimu lagi."
Aku kembali ke alam sadarku, cerita dua tahun
lalu itu rupanya masih mampu mengaduk-aduk rasaku. Kini aku sudah lelah mengingat
kisah itu, mataku juga lelah apabila
harus terus meneteskan air mata untuk hal yang tidak bisa ku miliki sampai saat
ini. Terimakasih Fahri. Darimu aku belajar banyak hal. Karena kamu aku bisa
sekuat sekarang. Maaf rasa ini belum bisa
ku hilangkan seutuhya.
Tasikmalaya,
27 Desember 2019