Jumat, 23 Oktober 2020

 Nocse te Ipsum

Fetrilogi

I.

Di tubuh kota, masing-masing kita adalah pelacur yang kehabisan cara melucuti kelakuannya sendiri. Sementara itulah kian membiaki rahim peradaban.

II.

Saban hari, ribuan kaki pergi dan kembali menuju sebuah kamp konsentrasi; berjudi, di kepala siapa kau kan mengultuskan harapan-harapan yang menghablur dari tangismu?

Barangkali metrum telah menyusun sendunya menjadi ratusan mazmur yang tugur dalam kebakaan.

III.

“Bukankah hidup hanyalah perkara kegagalan akan kematian dan keinginan untuk tidak pernah diciptakan?”

Jangan harap kau kan dapati jawabannya. Sebab kantata masih menggema mengiringi irama jantungmu dan jantung di tubuh kota.

Dari Roma, Ravenna, hingga Konstatinopel-peristiwa tetaplah peristiwa meski sempat tiada arti ditangan Caligula; di hati Caesonia.

IV.

Berkacalah saat matamu terpejam; saat separuh dirimu mendaku sebagai bagian dari dirimu yang lain. Bukan sebagai simulakra yang mencipta dan terus mencipta ketaksaan.

Sehingga kelak, jika-dan jika bukan jika-kau luput dari karut-marut segenap romantika, kau kan insaf; segala yang menyinggah-sanggahi hidupmu adalah kepunyaanmu.

Karena kau pun tahu, kebencian adalah meta dari rasa cinta yang tak mampu kau terjemahkan.

V.

Zaman mendewasakan manusia

Manusia berkhianat pada kemanusiaan.

Bisakah Ia tak terima?

Sedang memberi pun tiada jeda.

VI.

Tuhan, bolehkah kita berhenti saling menyiasati?

VII.

Tetapi masing-masing kita masih menjadi pelacur.

Menjajakan kewarasan pada angka-angka tak terhingga.

Menjadi sundal yang sudi dijamah eksistensi semu dan dogma-dogma palsu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar