Nocse te Ipsum
Fetrilogi
I.
Di tubuh
kota, masing-masing kita adalah pelacur yang kehabisan cara melucuti
kelakuannya sendiri. Sementara itulah kian membiaki rahim peradaban.
II.
Saban hari,
ribuan kaki pergi dan kembali menuju sebuah kamp konsentrasi; berjudi, di
kepala siapa kau kan mengultuskan harapan-harapan yang menghablur dari
tangismu?
Barangkali
metrum telah menyusun sendunya menjadi ratusan mazmur yang tugur dalam kebakaan.
III.
“Bukankah
hidup hanyalah perkara kegagalan akan kematian dan keinginan untuk tidak pernah
diciptakan?”
Jangan harap
kau kan dapati jawabannya. Sebab kantata masih menggema mengiringi irama
jantungmu dan jantung di tubuh kota.
Dari Roma,
Ravenna, hingga Konstatinopel-peristiwa tetaplah peristiwa meski sempat tiada
arti ditangan Caligula; di hati Caesonia.
IV.
Berkacalah
saat matamu terpejam; saat separuh dirimu mendaku sebagai bagian dari dirimu
yang lain. Bukan sebagai simulakra yang mencipta dan terus mencipta ketaksaan.
Sehingga
kelak, jika-dan jika bukan jika-kau luput dari karut-marut segenap romantika,
kau kan insaf; segala yang menyinggah-sanggahi hidupmu adalah kepunyaanmu.
Karena kau
pun tahu, kebencian adalah meta dari rasa cinta yang tak mampu kau terjemahkan.
V.
Zaman
mendewasakan manusia
Manusia
berkhianat pada kemanusiaan.
Bisakah Ia
tak terima?
Sedang
memberi pun tiada jeda.
VI.
Tuhan,
bolehkah kita berhenti saling menyiasati?
VII.
Tetapi
masing-masing kita masih menjadi pelacur.
Menjajakan
kewarasan pada angka-angka tak terhingga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar