Jumat, 23 Oktober 2020

 Rasa yang Terjaga

Nurul Hasanah

Pagi ini mentari bersinar terang seolah menunjukan kebahagiaan. Sinarnya masuk menerangi jiwa yang membutuhkan cahaya. Aku bersyukur bisa kembali menikmati keindahan ini. Hari ini libur sekolah, setelah membereskan rumah aku kembali ke kamar sambil mendengarkan musik yang kuputar di ponsel. Kunikmati musik itu hingga mampu menenggelamkan dalam sebuah khayal dan kenangan, menyeretku pada rasa yang sampai saat ini tak bisa diungkapkan padanya. Aku tersenyum, rupanya rasa itu masih tersimpan rapi di sudut kenangan, bersampul harapan yang tidak bisa terwujudkan. Fahri, ya aku kembali ingat waktu perkenalan dan kebersamaan dengannya. Rasa Hangat menerobos jiwa, kenyamanan kembali terasa, tidak jarang aku pun merindukan itu semua.

Awal masuk SMA aku mengikuti Organisasi Intra Siswa. Waktu itu aku melihat beberapa lelaki yang duduk bersebelahan denganku. Aku tidak tahu siapa mereka, yang aku tahu mereka satu organisasi denganku. Aku juga tidak terlalu memperhatikan mereka, baik itu namanya, alamatnya, maupun kelasnya. Lagipula(,) untuk apa aku sekepo itu pada mereka(?)

Hari terus berganti, hingga pada suatu malam ada seseorang yang hadir dalam kehidupan dan mampu menancapkan rasa sampai sekarang.

"Assalaamu'alaikum, ini Zahra Azusena yang ikut Organisasi OSIS ya?"

Sebuah pesan mendarat di ponselku. Fahri Haidar, nama itu yang berhasil aku baca di atas pesan yang dikirimkan. Tanpa berpikir panjang aku menjawab pesan itu, kemudian aku melihat sejenak profilnya,"Oh rupanya Fahri anak OSIS juga," gumamku.

Perkenalan terus berlanjut, menanyakan tempat tinggal, asal sekolah, hobi, hingga membicarakan hal yang tidak penting. Malam berikutnya kami selalu bertukar kabar di messenger, dan satu hal yang tidak pernah dia lupakan adalah ucapan selamat malam dan menyuruhku agar tidak tidur terlalu malam. "Good night have a nice dream." Pesan singkat itu selalu berhasil mengukir senyuman di bibirku. Menghadirkan bahagia di kala akan mulai memejamkan mata. Entahlah(,) aku tidak tahu obat apa yang Fahri berikan hingga begitu membuatku ketergantungan. Seperti ombak yang menemani pantai siang dan malam, seperti bulan yang menjaga bumi, dan seperti buku yang membutuhkan pensil, aku rasa semakin hari kami semakin akrab. Saling menyapa, menemani, berbagi suka duka, mengukir tawa, dan menuliskan kisah dalam lembar kehidupan. Sungguh membahagiakan.

Lama kelamaan aku mulai merasa ada yang aneh dengan rasaku, rasa yang tidak bisa kupahami, memaksa keluar ingin diucapkan. Aku resah akan rasaku, aku tidak tahu pasti apakah itu cinta atau rasa nyaman belaka. Jika aku mengungkapkannya, aku takut hubungan kami akan berubah. Jika aku diam saja, rasa ini selalu membuatku resah. Dengan sekuat tenaga aku menyembunyikan ini semua, menyamarkan rasa yang hadir dalan ikatan persahabatan. Benar kata orang, tidak ada persahabatan yang murni antara laki-laki dan perempuan, pasti ada satu pihak yang menyimpan perasaan.

Percakapan tiap malam selalu ada, Fahri selalu mengabariku. Tidak bosan dia bercerita semua hal padaku. Membagi kisah, membagi mimpi, atau hanya sekadar bertukar pikiran. Fahri menceritakan kenakalannya dulu, baik itu merokok ataupun membolos. Hingga tiba di suatu waktu Fahri memberitahuku ingin berubah menjadi lebih baik lagi.

"Andai saja Ibu tahu sikapku dulu, kenakalanku di luar sana, pasti ibu sangat kecewa," Sesal Fahri.

"Gak papa, yang penting jangan diulangi lagi, masih ada waktu untuk berubah," ucapku.

"Zahra, aku ingin berubah. aku sudah besar dan aku ingin membahagiakan keluargaku," ucap Fahri.

Aku bahagia mendengarnya. Manusia selalu mempunyai sisi baik dan buruk. Sebaik apapun pasti pernah melakukan kesalahan dan seburuk apapun seseorang dia berhak mendapatkan pengampunan dan peluang untuk berubah. Aku selalu yakin akan hal itu, maka dari itu aku tidak pernah memandang seseorang itu buruk. aku pikir semua ada masanya, pasti jika waktunya tiba mereka akan berubah, begitupun dengan Fahri.

Pengakuan Fahri mampu membuatku begitu bahagia, dan tanpa kusadari rasa yang semula hanya benih kecil kini mulai tumbuh besar, dipupuk oleh komunikasi, disiram oleh mimpi yang aku harap menjadi nyata. Bukan hanya Fahri yang berbagi cerita, aku pun membagi ceritaku termasuk impian bersekolah di Universitas Al-Azhar, menjadi Guru Sejarah, dan menceritakan keadaan di kampungku.

Namun sayangnya keakraban kami hanya sebatas di media sosial, di dunia nyata kami jarang bertutur-sapa. Gemas sekali rasanya. Hatiku selalu memaksa agar aku menyapa terlebih dahulu, namun rasa keingingan itu terkalahkan oleh rasa gengsi yang ada didalam diri. "Masa sih cewek mengungkapkan rasa duluan, masa sih nyapa duluan, tengsin  lah," gumamku. Yang kini kulakukan hanyalah berdoa memohon yang terbaik dari yang maha kuasa. Tidak bosan doa itu selalu kuulangi setiap harinya. Seperti resep obat dari doktor, ku ulangi hampir lima kali sehari di setiap usai solat.

"Ya Alloh, aku menyayangi Fahri, ingin bersama Fahri. Jika Fahri jodohku, pertahankanlah. Jika bukan jodohku, maka lapangkanlah hatiku. Sungguh aku ingin bersamanya. Semoga doaku dikabulkan." Lirihku setiap usai solat.

Langit yang cerah mulai mendung, awan hitam menutupi cahaya mentari, semesta seolah mengaminkan doaku. Ketika malam tiba, tidak ada rembulan yang menerangi, awan hitam masih menguasai, namun percakapan antara kami di media sosial tidak terhenti. Entah apa yang mendorongku berani menanyakan hal yang begitu privasi di kehidupan Fahri.

"Eh, ngomong-ngomong kenapa kamu putus sama Nisa?" tanyaku .

Nisa adalah pacar Fahri dulu, aku tahu itu waktu stalking sosial media Fahri.

"Gimana ya, aku kasihan sama dia," jawab Fahri.

"Kenapa kasihan?" tanyaku keheranan.

"Jadi gini ya, aku suka sama cewe lain selain dia." Jawab Fahri

Mendengar jawaban itu hatiku berdegup kencang, harapan seolah akan segera terwujudkan. Aku begitu bahagia, namun tetap berusaha menetralkan diri.

"Siapa?" Tanyaku lagi.

"Teman SMP dulu, sudah lama aku menyukainya, namun dia masih mempunyai pacar. Oh ya, katanya dia juga sempet mau tunangan tapi gak jadi. Waktu aku tahu dia putus, aku mendekatinya, eh sayangnya sekarang dia malah pacaran sama orang lain," Jawab Fahri.

Jawaban Fahri membuatku terhempas jauh dari alam kebahagiaan. Ucapannya berhasil menjatuhkanku ke jurang yang amat dalam, membawaku ke dasar samudera yang sangat gelap. Pipiku kini dihujani air mata, semesta seolah tertawa menyaksikan kebodohanku. Aku gagal lagi menjaga hatiku. Fahri yang kukira akan jadi pengobat luka justru karenanya aku kembali digoresi luka. Aku kira dia menjadikanku rumah namun ternyata hanya di jadikan tempat singgah. Rumahnya adalah wanita itu, teman SMP-nya.

"Sadarlah, lihat pacarnya saja dia putuskan karena dia masih menaruh rasa pada temamnnya, lalu aku siapa? Dengan lancangnya aku mengharapkan Fahri memiliki rasa yang sama," Lirihku.

Malam begitu hening, binatang malam tidak bersuara seolah merasakan kepiluanku. Hatiku retak, rasaku rusak. Aku benci keadaan seperti ini, keadaan yang membuatku sangat rapuh. Aku pun bingung harus berbuat apa, apakah harus menjauh atau tetap menjadi teman berceritanya.  Jika aku menjauh tidak baik kelihatannya, hanya karena sebuah rasa kenapa pertemanan harus dirusak? Jika aku terus menemaninya pasti aku akan sulit memghilangkan rasa yang kini ada. Sungguh aku sangat bingung.

Dengan sekuat tenanga aku berusaha bersikap biasa saja, menjadi teman berceritanya, meski memang hati terasa terluka. Aku mencoba membunuh paksa rasa yang ada secepatnya, menenggelamkannya dalam genangan air mata, dan membiarkan rasa yang ada larut dalam derasnya tetesan air mata. Aku tahu ini sulit, tapi harus bagaimana lagi, aku juga belum bisa jauh darinya. Dalam doa aku masih mengharapkannya, melantunkan pinta yang sama agar bisa bersama Fahri selamanya. Aku akui ini egois, mengharapkan orang yang tidak sama sekali mengharapkanku. Aku tahu ini salahku, aku sendiri yang menorehkan luka ini. Tidak jarang aku pun menangis, menyesali rasa dan mengutuk diri sendiri.

Kuseka air mata, lalu kubisikan sesuatu pada diriku. "Sudahlah jangan diingat lagi, itu hanya kisah lampau yang patut kau jadikan pelajaran, Zahra. Berdamailah dengan dirimu sendiri, lepaskan rasa itu, kamu tidak bisa bersama dengan Fahri. Mungkin kamu dan Fahri bisa beriringan dalam berbagi cerita, tapi tidak bisa beriringan dalam memulai cerita bahagia. Syukuri apa yang kamu miliki saat ini, perjuangkan orang yang kini ingin memperjuangkanmu. Hargai setiap orang yang kini bersamamu, jangan kecewakan mereka karena rasamu pada Fahri, dan yang terpenting jangan sakiti dirimu lagi."

Aku kembali ke alam sadarku, cerita dua tahun lalu itu rupanya masih mampu mengaduk-aduk rasaku. Kini aku sudah lelah mengingat kisah itu, mataku juga lelah apabila harus terus meneteskan air mata untuk hal yang tidak bisa ku miliki sampai saat ini. Terimakasih Fahri. Darimu aku belajar banyak hal. Karena kamu aku bisa sekuat sekarang. Maaf rasa ini belum bisa ku hilangkan seutuhya.

Tasikmalaya, 27 Desember 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar