THE BEAST
(Oleh Orion)
Manusia hanya melihat
apa yang ingin dilihatnya
Itulah kalimat yang membuat Tian merasa terpojok bagai jatuh
dari atap gedung yang tinggi. Jawaban dari satu pertanyaan sederhana yang Tian
lontarkan untuk sekedar basa-basi. Kalimat yang menariknya kearah gadis itu,
teman sekelasnya yang baru Tian sadari keberadaannya setelah enam bulan, Rina.
Banyak orang berkata;
latar belakang dan pengalaman hidup yang sama membuat dua orang menjadi lebih
mudah berinteraksi karena merasa memiliki suatu kesaaman.
Begitu pula yang dirasakan Tian. Rasa penasaran akan gadis
bernama Rina membuatnya terus mendekat seolah ditarik tali tak terlihat,
terlebih saat mengetahui bahwa Rina berasal dari keluarga broken home, sama sepertinya.
Perbedaan bagai langit
dan bumi menggambarkan keduanya. Sebab dan akibat tidak dapat terhindarkan
dalam hidup ini.
Berasal dari keluarga broken
home membuat Tian menjadi seorang yang haus akan perhatian, berbeda dengan
Rina yang memilih menghindari perhatian. Untuk dapat berbicara pada gadis itu, Tian
membutuhkan berbagai argumen. Teruntung Tian juga memiliki kecerdasan walau
tidak setara dengan Rina. Jika Tian seorang penyulut yang dapat mengibarkan
bendera perang di manapun dan kapanpun, maka Rina adalah seorang peredam yang
turut serta membawa kedamaian di manapun dan kapanpun. Perbedaan yang mencolok
tersebut membuat beberapa orang berpikir bahwa sifat keduanya tertukar.
Tak ada usaha yang
sia-sia.
Keduanya semakin dekat. Akhirnya Tian bisa memanggil Rina
teman. Pertemanan yang penuh masalah. Ya, siapa lagi kalau bukan Tian yang
membawa masalah? Masalah yang Tian bawa bukanlah perkelahian bagai lelaki
biasanya, melainkan setiap kalimat yang keluar dari mulutnyalah yang membawa
berjuta masalah. Tian bahkan dikucilkan para lelaki di kelas. “Ucapannya
terlalu tinggi sehingga membuat kami merasa tidak nyaman,” begitulah kata
mereka saat Rina mencoba menengahi. Rina adalah penyelesai masalah bagi Tian.
Tian tidak akan berhenti mengusik Rina hingga Rina membantunya. Jika dipikir
secara logis, siapa yang akan merasa nyaman jika kita berbicara dengan orang
yang menyombongkan dirinya setiap saat dengan nada dan tatapan meremehkan?
Ada makna dibalik
setiap pertemuan.
Rina selalu mempertanyakan arti pertemuannya dengan manusia
bernama Tian yang senantiasa mengganggu kedamaian hidupnya. Tian mengusik dan
membawa masalah selama tujuh tahun dari dua puluh dua tahun kehidupan Rina
sejak mereka saling mengenal. Tian sangat menyadari hal itu, namun Tian tetap
meminta Rina untuk bertemu di sela-sela kesibukan kerja mereka, tentu saja
untuk membicarakan masalah yang Tian miliki. Bahkan hari itu terik matahari
terasa membakar kulit. Namun Tian tetap membuat Rina keluar dari rumahnya hanya
untuk membicarakan keburukan lain yang dilakukan ayah tirinya. Rina sudah
mengatakan berulang kali bahwa masalah seperti ini dapat dikatakan melalui
pesan, jika memang terlalu panjang Tian bisa menggunakan layanan panggilan yang
sudah ada sejak lebih dari satu abad yang lalu di dunia ini.
Tian tidak pernah mengindahkan perkataan Rina, bukan karena dia
tidak ingin berbicara melalui pesan ataupun melalui panggilan, hanya saja dia
ingin melihat wujud dari gadis itu. Kini mereka sibuk dengan pekerjaan, karena
itu Tian selalu memaksa Rina untuk bertemu dengannya, walaupun makian yang
selalu diterima Tian sebagi balasan atas perbuatannya. Namun Rina selalu datang
saat Tian memanggilnya. Tanpa Rina sadari Tian sudah memasuki alam bawah
sadarnya, pertanda bahwa kata teman kini telah berubah menjadi sahabat.
Seorang pria dan
wanita tidak akan bisa berteman.
Termenung, Tian bertanya pada dirinya sendiri, mengapa
dirinya selalu mendatangi Rina untuk setiap masalahnya bahkan hal yang tidak
penting sekali pun? mengapa ia selalu ingin melihat wujud sahabatnya untuk
melihat apakah Rina baik-baik saja, kini semuanya menjadi jelas. Tian menyadari
bahwa dirinya salah mengartikan ketertarikannya pada Rina sejak awal.
Tian mencintai Rina.
Tian bahagia menjadi satu-satunya yang ada samping Rina
selama ini. Namun apa yang harus dilakukannya sekarang? Terlebih lagi Tian
masih terusik kejadian beberapa bulan lalu. Gadis itu tidak meneteskan setetes
air mata pun pada suasana duka yang begitu dalam saat ayahnya berpulang. Hanya
adiknya yang menangis tersedu-sedu di ujung ruangan. Namun Rina tidak bereaksi,
wajah dan ekspresinya sama seperti biasa. Apa yang salah sebenarnya pada gadis
itu? Bahkan setelah tujuh tahun berteman, Tian tidak terlalu tahu dan mengerti tentang
Rina. Apa yang gadis itu pikirkan, apa yang gadis itu rasakan. Selama ini hanya
Tianlah yang selalu membicarakan dirinya.
Darah Tian memuncak, dia marasa marah. Hari itu Tian menemui
Rina di café tempat mereka biasa
bertemu. Tian berencana menyatakan perasaanya pada Rina. Senyuman serta kegugupan
tidak henti dirasakan Tian. Namun apa yang terjadi sekarang? Senyuman dan
kegugupan itu tegantikan amarah, perkataan Rina membakar hatinya. Bukan karena
penolakan cinta yang terjadi dalam lima detik, melainkan Rina yang melarangnya
ikut campur dalam kehidupan Rina. Seolah pertemanan selama tujuh tahun itu
tidak berarti, perkataan yang membuat Tian merasa sama sekali tidak berarti
bagi gadis dihadapannya. Tian bangun dari kursinya, membawa serta jaketnya,
berlalu begitu saja meninggalkan Rina.
Bukankah tertusuk duri
mawar itu menyakitkan?
Tian melarikan diri, menerima pekerjaan di negeri seberang,
berpikir bahwa itu mungkin yang terbaik untuknya saat ini. Lihatlah, bahkan
Rina tidak datang untuk mengantarkan keberangkatannya. Padahal Tian sudah
mengirim pesan satu hari sebelum keberangkatannya pada Rina, berharap Rina akan
datang dan menghentikan kepergiannya. Rina akan selalu datang saat Tian
memanggilnya datang, walau datang bersama amarah. Namun kali ini Rina tak menampakkan
diri hingga kepergiannya.
Rina tidak datang.
Rina melihat langit dibalik jendela. Warna biru cerah itu
tertutup awan kelabu, membuat Rina bertanya seberapa tebal awan yang menutupi
matahari kali ini. Kosong, tatapan mata gadis itu selalu kosong. Rina melirik
jam dinding dan kembali menatap langit. Membiarkan pergi sahabatnya adalah cara
Rina melindungi Tian. Rina sepenuhnya menyadari bahwa dirinya memegang sebilah
pisau tajam, oleh karenanya Rina memilih menusukkan pisau itu pada dirinya
sendiri. Rina menarik satu sudut bibirnya membentuk senyum penuh misteri.
“Akhirnya pengganggu itu pergi,”
gumamnya.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar