Kamis, 25 April 2019

THE BEAST
(Oleh Orion)

Manusia hanya melihat apa yang ingin dilihatnya
Itulah kalimat yang membuat Tian merasa terpojok bagai jatuh dari atap gedung yang tinggi. Jawaban dari satu pertanyaan sederhana yang Tian lontarkan untuk sekedar basa-basi. Kalimat yang menariknya kearah gadis itu, teman sekelasnya yang baru Tian sadari keberadaannya setelah enam bulan, Rina.
Banyak orang berkata; latar belakang dan pengalaman hidup yang sama membuat dua orang menjadi lebih mudah berinteraksi karena merasa memiliki suatu kesaaman.
Begitu pula yang dirasakan Tian. Rasa penasaran akan gadis bernama Rina membuatnya terus mendekat seolah ditarik tali tak terlihat, terlebih saat mengetahui bahwa Rina berasal dari keluarga broken home, sama sepertinya.
Perbedaan bagai langit dan bumi menggambarkan keduanya. Sebab dan akibat tidak dapat terhindarkan dalam hidup ini.
Berasal dari keluarga broken home membuat Tian menjadi seorang yang haus akan perhatian, berbeda dengan Rina yang memilih menghindari perhatian. Untuk dapat berbicara pada gadis itu, Tian membutuhkan berbagai argumen. Teruntung Tian juga memiliki kecerdasan walau tidak setara dengan Rina. Jika Tian seorang penyulut yang dapat mengibarkan bendera perang di manapun dan kapanpun, maka Rina adalah seorang peredam yang turut serta membawa kedamaian di manapun dan kapanpun. Perbedaan yang mencolok tersebut membuat beberapa orang berpikir bahwa sifat keduanya tertukar.
Tak ada usaha yang sia-sia.
Keduanya semakin dekat. Akhirnya Tian bisa memanggil Rina teman. Pertemanan yang penuh masalah. Ya, siapa lagi kalau bukan Tian yang membawa masalah? Masalah yang Tian bawa bukanlah perkelahian bagai lelaki biasanya, melainkan setiap kalimat yang keluar dari mulutnyalah yang membawa berjuta masalah. Tian bahkan dikucilkan para lelaki di kelas. “Ucapannya terlalu tinggi sehingga membuat kami merasa tidak nyaman,” begitulah kata mereka saat Rina mencoba menengahi. Rina adalah penyelesai masalah bagi Tian. Tian tidak akan berhenti mengusik Rina hingga Rina membantunya. Jika dipikir secara logis, siapa yang akan merasa nyaman jika kita berbicara dengan orang yang menyombongkan dirinya setiap saat dengan nada dan tatapan meremehkan?
Ada makna dibalik setiap pertemuan.
Rina selalu mempertanyakan arti pertemuannya dengan manusia bernama Tian yang senantiasa mengganggu kedamaian hidupnya. Tian mengusik dan membawa masalah selama tujuh tahun dari dua puluh dua tahun kehidupan Rina sejak mereka saling mengenal. Tian sangat menyadari hal itu, namun Tian tetap meminta Rina untuk bertemu di sela-sela kesibukan kerja mereka, tentu saja untuk membicarakan masalah yang Tian miliki. Bahkan hari itu terik matahari terasa membakar kulit. Namun Tian tetap membuat Rina keluar dari rumahnya hanya untuk membicarakan keburukan lain yang dilakukan ayah tirinya. Rina sudah mengatakan berulang kali bahwa masalah seperti ini dapat dikatakan melalui pesan, jika memang terlalu panjang Tian bisa menggunakan layanan panggilan yang sudah ada sejak lebih dari satu abad yang lalu di dunia ini.
Tian tidak pernah mengindahkan perkataan Rina, bukan karena dia tidak ingin berbicara melalui pesan ataupun melalui panggilan, hanya saja dia ingin melihat wujud dari gadis itu. Kini mereka sibuk dengan pekerjaan, karena itu Tian selalu memaksa Rina untuk bertemu dengannya, walaupun makian yang selalu diterima Tian sebagi balasan atas perbuatannya. Namun Rina selalu datang saat Tian memanggilnya. Tanpa Rina sadari Tian sudah memasuki alam bawah sadarnya, pertanda bahwa kata teman kini telah berubah menjadi sahabat.
Seorang pria dan wanita tidak akan bisa berteman.
Termenung, Tian bertanya pada dirinya sendiri, mengapa dirinya selalu mendatangi Rina untuk setiap masalahnya bahkan hal yang tidak penting sekali pun? mengapa ia selalu ingin melihat wujud sahabatnya untuk melihat apakah Rina baik-baik saja, kini semuanya menjadi jelas. Tian menyadari bahwa dirinya salah mengartikan ketertarikannya pada Rina sejak awal.
Tian mencintai Rina.
Tian bahagia menjadi satu-satunya yang ada samping Rina selama ini. Namun apa yang harus dilakukannya sekarang? Terlebih lagi Tian masih terusik kejadian beberapa bulan lalu. Gadis itu tidak meneteskan setetes air mata pun pada suasana duka yang begitu dalam saat ayahnya berpulang. Hanya adiknya yang menangis tersedu-sedu di ujung ruangan. Namun Rina tidak bereaksi, wajah dan ekspresinya sama seperti biasa. Apa yang salah sebenarnya pada gadis itu? Bahkan setelah tujuh tahun berteman, Tian tidak terlalu tahu dan mengerti tentang Rina. Apa yang gadis itu pikirkan, apa yang gadis itu rasakan. Selama ini hanya Tianlah yang selalu membicarakan dirinya.
Darah Tian memuncak, dia marasa marah. Hari itu Tian menemui Rina di café tempat mereka biasa bertemu. Tian berencana menyatakan perasaanya pada Rina. Senyuman serta kegugupan tidak henti dirasakan Tian. Namun apa yang terjadi sekarang? Senyuman dan kegugupan itu tegantikan amarah, perkataan Rina membakar hatinya. Bukan karena penolakan cinta yang terjadi dalam lima detik, melainkan Rina yang melarangnya ikut campur dalam kehidupan Rina. Seolah pertemanan selama tujuh tahun itu tidak berarti, perkataan yang membuat Tian merasa sama sekali tidak berarti bagi gadis dihadapannya. Tian bangun dari kursinya, membawa serta jaketnya, berlalu begitu saja meninggalkan Rina.
Bukankah tertusuk duri mawar itu menyakitkan?
Tian melarikan diri, menerima pekerjaan di negeri seberang, berpikir bahwa itu mungkin yang terbaik untuknya saat ini. Lihatlah, bahkan Rina tidak datang untuk mengantarkan keberangkatannya. Padahal Tian sudah mengirim pesan satu hari sebelum keberangkatannya pada Rina, berharap Rina akan datang dan menghentikan kepergiannya. Rina akan selalu datang saat Tian memanggilnya datang, walau datang bersama amarah. Namun kali ini Rina tak menampakkan diri hingga kepergiannya.
Rina tidak datang.
Rina melihat langit dibalik jendela. Warna biru cerah itu tertutup awan kelabu, membuat Rina bertanya seberapa tebal awan yang menutupi matahari kali ini. Kosong, tatapan mata gadis itu selalu kosong. Rina melirik jam dinding dan kembali menatap langit. Membiarkan pergi sahabatnya adalah cara Rina melindungi Tian. Rina sepenuhnya menyadari bahwa dirinya memegang sebilah pisau tajam, oleh karenanya Rina memilih menusukkan pisau itu pada dirinya sendiri. Rina menarik satu sudut bibirnya membentuk senyum penuh misteri.
“Akhirnya pengganggu itu pergi,” gumamnya.

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar