Selasa, 09 April 2019


SIAPA YANG BODOH?


(Halim Muhammad)



EPISODE 2: THE GIMMICK

Dosen mata kuliah pemasaran datang terlambat pagi itu. Katanya, ia mengurus dulu penurunan berkarton-karton barang yang akan dijadikan bahan tugas bagi semua mahasiswanya.
“Hah, tugas?” semua mahasiswa terkejut bukan main, kecuali Entis yang selalu menanggapi setiap tugas dengan main-main.
Bu guru cantik yang hobi memakai maskara dan lipstik merah muda itu juga membawa sebuah sampel dan memperlihatkannya pada mereka. Itu adalah minuman kental berwarna hijau pekat yang dikemas dalam botol plastik lonjong berdisain menarik.
“Ini adalah yoghurt berkualitas tinggi yang harus kalian jual kepada masyarakat luas di hari sabtu dan minggu. Total penjualannya akan menjad tolak ukur nilai kalian. Jadi, semakin banyak barang terjual, semakin bagus nilainya. Minuman kaya nutrisi ini terdiri dari 4 rasa. Yang hijau ini rasa melon, merah rasa stroberi, ungu rasa anggur dan putih untuk rasa original. Untuk penjualannya sendiri, ibu akan membagi kalian menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok nantinya akan disebar di tempat-tempat yang ramai dengan harapan peluang lakunya minuman ini semakin tinggi.”
Seorang mahasiswa langganan nilai A, Patricia mengangkat tangan kanannya, “itu berapa mililiter, bu?”
“Satu botol ini 300 mili liter, Patricia,” jawab si dosen cantik.
Seorang mahasiswa yang juga langganan nilai A, Fransiskus turut mengangkat tangan kanannya, “harga perbotolnya berapa, bu?”
“Sebenarnya ini harga aslinya 35.000. Tapi khusus untuk saat ini, kalian bisa menjualnya seharga 20.000 saja perbotol. Murah, kan?”
Semua mahasiswa menganga mulutnya, kecuali Entis yang saat itu tengah mengunyah permen karet.
Gils, mahal banget! Siapa yang mau beli? Mereka sedikit berkeluh dalam hati, tidak berani mengungkapkan pada sang dosen karena takut nilainya dikurangi.
Hari sabtu pun tiba. Entis dan ketiga temannya bisa dibilang cukup beruntung karena mendapat spot yang sangat ramai, alun-alun kota. Tapi setelah menunggu berjam-jam, tidak ada satu pun minuman yang terjual. Padahal beragam cara sudah dilakukan. Dari mulai berkeliling sampai mengagetkan beberapa pasangan muda yang sedang bermesraan di keramaian.
“Kakak boleh minta waktunya sebentar?” tanya salah satu teman Entis pada seorang ibu-ibu yang kemudian berjalan cepat dan tak meghiraukannya. Mungkin ibu tersebut marah karena dipanggil kakak.
BTW kakak suka  rasa apa, ya? Di sini kami punya 4 rasa yang tentunya enak, menyegarkan dan menyehatkan,” bujuk anggota kelompok lainnya pada seorang pemuda tampan yang berakhir pada penolakan mentah-mentah.
“Ini tuh kalau saya jual di tempat lain harganya 35.000, loh. Tapi buat kakak, saya kasih diskon deh jadi 20.000. Gimana?” bujuk anggota satunya lagi yang malah terkesan mengada-ada di mata si calon konsumen.
Sementara itu, Entis hanya duduk-duduk santai di pinggiran taman sambil memperhatikan ketiga temannya yang masih berusaha menawarkan produk tersebut. Menurutnya, semua strategi yang dijalankan ketiga temannya adalah tindakan bodoh yang sama sekali tidak akan menarik perhatian konsumen. Apa yang mereka lakukan hanya membuat kaget dan membuat risih orang-orang yang ditawarinya. Tapi dia sendiri sebenarnya tidak mengetahui strategi yang tepat untuk memecahkan permasalahan tersebut. Selain harga produk yang mahal, konsumen pasti berhati-hati memilih produk. Walaupun produk tersebut sudah memiliki nomor PIRT dan dikemas dalam botol yang menarik, jika belum terkenal, tetap saja masyarakat tidak akan yakin.
Melihat Entis yang dari tadi diam saja dan kadang mengoceh karena merasa kalau strategi yang dijalankan mereka adalah tindakan sia-sia, ketiga temannya lalu marah dan menantang Entis untuk menawarkan produk-produk yang dari tadi belum terjual satu pun itu di hari berikutnya. Karena gengsi, Entis pun menerima tantangan tersebut dengan wajah sangat yakin padahal sebenarnya sangat lain.
Semalaman Entis mengurung diri di kamar indekosnya yang lumayan sempit, membaca satu-satunya buku terkait strategi pemasaran yang ia punya untuk mendapat pencerahan. Tapi sayang, semuanya tidak membantu. Entis pun mengambil ponselnya dan memutuskan untuk mencari referensi lain di YouTube. Setidaknya, dengan bantuan audio visual, ia akan lebih mampu melihat dan menganalisis lapangan, lalu menemukan strategi pemasaran yang tepat untuk tugas kali ini.
Di tengah tontonannya, tiba-tiba Entis tertarik pada sebuah video ajang pencarian bakat yang kerap tayang di televisi seminggu sekali. Ia pun menonton video tersebut dan video-video lainnya yang masih berkaitan. Di salah satu video, ia menyaksikan penampilan 2 orang penyanyi yang tengah berduel di panggung yang sama. Penyanyi yang tampil pertama adalah seorang pria dengan suara serak-serak basah yang indah dan memiliki aksi panggung yang sangat memukau, sudah seperti penyanyi kondang. Penonton pun bersorak dan bertepuk tangan untuknya. Sedang penampil kedua merupakan seorang wanita cantik yang menurut Entis suaranya lumayan bagus, tapi terlalu pasaran. Aksi panggung dan penghayatannya juga biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Setelah menyanyi dan mendapat banyak tepuk tangan, entah mengapa si pembawa acara tiba-tiba bertanya perihal perjuangan si gadis untuk sampai di panggung tersebut. Tanpa basa-basi, si gadis pun menceritakan jatuh bangun hidupnya. Ia bilang bahwa ayahnya sudah meninggal dan sekarang hanya tinggal dengan sang ibu yang hanya bekerja serabutan. Dengan penuh emosi dan air mata, ia juga menceritakan perjuangan panjang dan penuh tantangan untuk bisa sampai di ibu kota, mengikuti ajang tersebut. Semua yang dikisahkan si gadis cantik berhasil membuat juri berkaca-kaca. Beberapa penonton bahkan menangis, terbawa suasana atau mungkin pernah merasakan kepedihan yang sama. Entahlah.
Beberapa saat kemudian, juri pun mengundang peserta pertama untuk bergabung ke atas panggung. Lalu dengan diiringi musik khas yang mengundang rasa penasaran, salah satu juri mulai bersuara dan mengatakan bahwa yang masuk ke babak berikutnya adalah si penampil kedua. Ya, gadis cantik yang penampilannya biasa-biasa saja itu berhasil mengalahkan lawan duelnya yang menurut Entis penampilannya jauh lebih bagus. Kekecewaan pun tergambar pada wajah beberapa penonton yang kebetulan sempat terekam kamera.
“Benar-benar tidak adil!” ujarnya dalam hati. Tapi ketidakadilan tersebut sama sekali tidak membuat Entis geram dan mengucapkan sumpah-serapah yang amoral. Ia malah tersenyum, lalu senyuman tersebut berubah menjadi gelakkan tawa penuh keriangan.
Hari Senin ketika jam mata kuliah pemasaran tiba, dosen cantik dan semua mahasiswa di kelas tersebut dibuat heran dengan kelompok Entis. Pasalnya, kelompok tersebut adalah satu-satunya kelompok yang berhasil menjual seluruh produknya. Jangankan mereka, ketiga teman sekelompok Entis juga dibuat planga-plongo karena tidak percaya jika Entis berhasil menjual 2 lusin produk tersebut hanya adalam 1 hari saja. Mereka lalu penasaran dengan strategi yang digunakan Entis. Pasalnya, semua strategi yang mereka pelajari selama mengikuti kelas pemasaran tak ada satupun yang bisa diterapkan.
“Caranya mudah banget, kok. Cuma butuh papan tulis kecil aja,” jawab Entis tanpa beban yang semakin membuat teman-temannya penasaran. “Tinggal berdandan sedikit lusuh, pakai jas almamater kampus, pasang muka murung, terus duduk sambil pegang perut. Udah!” imbuhnya.
“Terus papan tulisnya di apain?”
“Ya, ditulisin terus diberdiriin di pinggir kita.”
“Ditulisin apa?”
“Bantu saya membayar uang kuliah dan mewujudkan cita-cita saya, kak.”
Semua yang mendengar spontan mengernyitkan dahi sambil saling melirik satu sama lain, kebingungan. Sedang Entis hanya tersenyum-senyum sendiri karena merasa telah menjadi mahasiswa paling pintar di mata kuliah pemasaran.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar