SIAPA YANG BODOH?
(Halim Muhammad)
EPISODE 2: THE
GIMMICK
Dosen mata kuliah pemasaran datang terlambat pagi itu. Katanya, ia
mengurus dulu penurunan berkarton-karton barang yang akan dijadikan bahan tugas
bagi semua mahasiswanya.
“Hah, tugas?” semua mahasiswa terkejut bukan main, kecuali Entis yang
selalu menanggapi setiap tugas dengan main-main.
Bu guru cantik yang hobi memakai maskara dan lipstik merah muda itu juga
membawa sebuah sampel dan memperlihatkannya pada mereka. Itu adalah minuman
kental berwarna hijau pekat yang dikemas dalam botol plastik lonjong berdisain
menarik.
“Ini adalah yoghurt berkualitas
tinggi yang harus kalian jual kepada masyarakat luas di hari sabtu dan minggu.
Total penjualannya akan menjad tolak ukur nilai kalian. Jadi, semakin banyak
barang terjual, semakin bagus nilainya. Minuman kaya nutrisi ini terdiri dari 4
rasa. Yang hijau ini rasa melon, merah rasa stroberi, ungu rasa anggur dan
putih untuk rasa original. Untuk penjualannya sendiri, ibu akan membagi kalian
menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok nantinya akan disebar di
tempat-tempat yang ramai dengan harapan peluang lakunya minuman ini semakin
tinggi.”
Seorang mahasiswa langganan nilai A, Patricia mengangkat tangan kanannya,
“itu berapa mililiter, bu?”
“Satu botol ini 300 mili liter, Patricia,” jawab si dosen cantik.
Seorang mahasiswa yang juga langganan nilai A, Fransiskus turut
mengangkat tangan kanannya, “harga perbotolnya berapa, bu?”
“Sebenarnya ini harga aslinya 35.000. Tapi khusus untuk saat ini, kalian
bisa menjualnya seharga 20.000 saja perbotol. Murah, kan?”
Semua mahasiswa menganga mulutnya, kecuali Entis yang saat itu tengah
mengunyah permen karet.
Gils, mahal banget! Siapa
yang mau beli? Mereka sedikit berkeluh dalam hati, tidak berani mengungkapkan pada sang
dosen karena takut nilainya dikurangi.
Hari sabtu pun tiba. Entis dan ketiga temannya bisa dibilang cukup
beruntung karena mendapat spot yang sangat ramai, alun-alun kota. Tapi setelah
menunggu berjam-jam, tidak ada satu pun minuman yang terjual. Padahal beragam
cara sudah dilakukan. Dari mulai berkeliling sampai mengagetkan beberapa
pasangan muda yang sedang bermesraan di keramaian.
“Kakak boleh minta waktunya sebentar?” tanya salah satu teman Entis pada
seorang ibu-ibu yang kemudian berjalan cepat dan tak meghiraukannya. Mungkin
ibu tersebut marah karena dipanggil kakak.
“BTW kakak suka rasa apa, ya? Di sini kami punya 4 rasa yang
tentunya enak, menyegarkan dan menyehatkan,” bujuk anggota kelompok lainnya
pada seorang pemuda tampan yang berakhir pada penolakan mentah-mentah.
“Ini tuh kalau saya jual di tempat lain harganya 35.000, loh. Tapi buat
kakak, saya kasih diskon deh jadi 20.000. Gimana?” bujuk anggota satunya lagi
yang malah terkesan mengada-ada di mata si calon konsumen.
Sementara itu, Entis hanya duduk-duduk santai di pinggiran taman sambil
memperhatikan ketiga temannya yang masih berusaha menawarkan produk tersebut.
Menurutnya, semua strategi yang dijalankan ketiga temannya adalah tindakan
bodoh yang sama sekali tidak akan menarik perhatian konsumen. Apa yang mereka
lakukan hanya membuat kaget dan membuat risih orang-orang yang ditawarinya.
Tapi dia sendiri sebenarnya tidak mengetahui strategi yang tepat untuk
memecahkan permasalahan tersebut. Selain harga produk yang mahal, konsumen
pasti berhati-hati memilih produk. Walaupun produk tersebut sudah memiliki
nomor PIRT dan dikemas dalam botol yang menarik, jika belum terkenal, tetap
saja masyarakat tidak akan yakin.
Melihat Entis yang dari tadi diam saja dan kadang mengoceh karena merasa
kalau strategi yang dijalankan mereka adalah tindakan sia-sia, ketiga temannya
lalu marah dan menantang Entis untuk menawarkan produk-produk yang dari tadi
belum terjual satu pun itu di hari berikutnya. Karena gengsi, Entis pun
menerima tantangan tersebut dengan wajah sangat yakin padahal sebenarnya sangat
lain.
Semalaman Entis mengurung diri di kamar indekosnya yang lumayan sempit,
membaca satu-satunya buku terkait strategi pemasaran yang ia punya untuk
mendapat pencerahan. Tapi sayang, semuanya tidak membantu. Entis pun mengambil
ponselnya dan memutuskan untuk mencari referensi lain di YouTube. Setidaknya,
dengan bantuan audio visual, ia akan lebih mampu melihat dan menganalisis
lapangan, lalu menemukan strategi pemasaran yang tepat untuk tugas kali ini.
Di tengah tontonannya, tiba-tiba Entis tertarik pada sebuah video ajang
pencarian bakat yang kerap tayang di televisi seminggu sekali. Ia pun menonton
video tersebut dan video-video lainnya yang masih berkaitan. Di salah satu
video, ia menyaksikan penampilan 2 orang penyanyi yang tengah berduel di
panggung yang sama. Penyanyi yang tampil pertama adalah seorang pria dengan
suara serak-serak basah yang indah dan memiliki aksi panggung yang sangat
memukau, sudah seperti penyanyi kondang. Penonton pun bersorak dan bertepuk
tangan untuknya. Sedang penampil kedua merupakan seorang wanita cantik yang
menurut Entis suaranya lumayan bagus, tapi terlalu pasaran. Aksi panggung dan
penghayatannya juga biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Setelah menyanyi
dan mendapat banyak tepuk tangan, entah mengapa si pembawa acara tiba-tiba
bertanya perihal perjuangan si gadis untuk sampai di panggung tersebut. Tanpa
basa-basi, si gadis pun menceritakan jatuh bangun hidupnya. Ia bilang bahwa
ayahnya sudah meninggal dan sekarang hanya tinggal dengan sang ibu yang hanya
bekerja serabutan. Dengan penuh emosi dan air mata, ia juga menceritakan
perjuangan panjang dan penuh tantangan untuk bisa sampai di ibu kota, mengikuti
ajang tersebut. Semua yang dikisahkan si gadis cantik berhasil membuat juri
berkaca-kaca. Beberapa penonton bahkan menangis, terbawa suasana atau mungkin
pernah merasakan kepedihan yang sama. Entahlah.
Beberapa saat kemudian, juri pun mengundang peserta pertama untuk
bergabung ke atas panggung. Lalu dengan diiringi musik khas yang mengundang
rasa penasaran, salah satu juri mulai bersuara dan mengatakan bahwa yang masuk
ke babak berikutnya adalah si penampil kedua. Ya, gadis cantik yang
penampilannya biasa-biasa saja itu berhasil mengalahkan lawan duelnya yang
menurut Entis penampilannya jauh lebih bagus. Kekecewaan pun tergambar pada
wajah beberapa penonton yang kebetulan sempat terekam kamera.
“Benar-benar tidak adil!” ujarnya dalam hati. Tapi ketidakadilan tersebut
sama sekali tidak membuat Entis geram dan mengucapkan sumpah-serapah yang
amoral. Ia malah tersenyum, lalu senyuman tersebut berubah menjadi gelakkan
tawa penuh keriangan.
Hari Senin ketika jam mata kuliah pemasaran tiba, dosen cantik dan semua
mahasiswa di kelas tersebut dibuat heran dengan kelompok Entis. Pasalnya,
kelompok tersebut adalah satu-satunya kelompok yang berhasil menjual seluruh
produknya. Jangankan mereka, ketiga teman sekelompok Entis juga dibuat planga-plongo karena tidak percaya jika
Entis berhasil menjual 2 lusin produk tersebut hanya adalam 1 hari saja. Mereka
lalu penasaran dengan strategi yang digunakan Entis. Pasalnya, semua strategi
yang mereka pelajari selama mengikuti kelas pemasaran tak ada satupun yang bisa
diterapkan.
“Caranya mudah banget, kok. Cuma butuh papan tulis kecil aja,” jawab Entis
tanpa beban yang semakin membuat teman-temannya penasaran. “Tinggal berdandan
sedikit lusuh, pakai jas almamater kampus, pasang muka murung, terus duduk
sambil pegang perut. Udah!” imbuhnya.
“Terus papan tulisnya di apain?”
“Ya, ditulisin terus diberdiriin di pinggir kita.”
“Ditulisin apa?”
“Bantu saya membayar uang kuliah dan mewujudkan cita-cita saya, kak.”
Semua yang mendengar spontan mengernyitkan dahi sambil saling melirik
satu sama lain, kebingungan. Sedang Entis hanya tersenyum-senyum sendiri karena
merasa telah menjadi mahasiswa paling pintar di mata kuliah pemasaran.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar