SIAPA YANG BODOH?
(Halim
Muhammad)
EPISODE
1, GELITIK POLITIK
Walaupun nilai Ujian
Akhir Semesternya didominasi oleh C dan D, Entis selalu merasa paling pintar di
kelasnya. Ia menganggap teman-temannya telah memanipulasi nilai dengan
taktik-taktik klasik dan beragam cara yang lebih kekinian. Mungkin memberikan
uang tip, traktir makan siang, Video Call-an,
tag postingan instagram, promote akun
di instastory, memberikan kecupan di pipi kanan kiri, atau menjual aset atas
bawah yang katanya sangat berharga. Entahlah, Entis hanya menganggap kalau
teman-teman sekelasnya itu tak pantas mendapat nilai A atau B. Mereka terlalu
bodoh untuk seukuran mahasiswa ekonomi semester 4. Bayangkan saja,
barang-barang di kelas yang tak berdosa dan tak tahu apa-apa telah menjadi
pelampiasan orang-orang tak beradab. Tempat sampah plastik di balik pintu itu
sudah tak mampu menelan sampah-sampah sisa cilok, seblak dan kaum-kaum
sejenisnya karena perutnya bocor ditendang orang bersepatu mahal. Papan tulis
pun sudah hampir menyerupai wajah penuh lubang jerawat, bolong-bolong di
beberapa bagian. Tangan-tangan gatal itu telah memperkosanya. Dan yang paling
parah adalah keadaan bangku-bangku kuliah yang dipaksa berpisah dengan
kawanannya. Mahasiswa-mahasiswa yang mengaku kritis itu telah membentuk 2 kubu
tempat duduk dan menyisakan sebuah terowongan lebar penuh debu-debu halus di
tengah-tengahnya. Dan yang menjadi induk dari segenap permasalahan tersebut
adalah perbedaan pilihan capres. Menurut kubu A, capres cawapres pilihannya
sangat layak memimpin negeri ini, sedangkan capres cawapres yang satunya lagi
sama sekali tidak memiliki kriteria seorang pemimpin. Pun sebaliknya menurut
kubu B. Dan setiap kali terjadi perdebatan antara kedua kubu tersebut, Entis
hanya duduk-duduk santai di kursi dosen, bermain Mobile Legend sambil sesekali menyaksikan oknum-oknum orang pintar
berdebat. Ia tampak seperti Karni Ilyas versi akhir bulan atau Najwa Shihab
versi laki-laki kampret.
Entis terlalu malas
mengurusi politik. Baginya politik jauh lebih membingungkan daripada
sinetron-sinetron azab kesukaan kaum ibu di kampung halamannya. Sedikit-sedikit
saling sindir, sedikit-sedikit bawa konfik. Terlebih banyak oknum yang membawa genre lain ke dalam dunia politik dan
menjadikannya semakin menggelitik. Sudah tahu orang-orang di negeri ini mudah
tersulut. Sekali menyalakan pematik, 1, 2 kampung terbakar habis. Dapat kabar hoax saja dicerna, disebarkan pula di
media sosial dengan caption lebay.
Eh, giliran dapat berita baik malah di swipe
karena caption-nya kepanjangan dan
bingung mau komentar apa. Entis bahkan sempat curiga kalau admin lambe turah
itu adalah seorang politikus yang memiliki minat di bidang entertain tapi tidak punya modal buat beli kosmetik. Entahlah, yang
pasti itulah alasan mengapa Entis tidak pernah terlibat dalam pemilihan
presiden atau pemilu-pemilu lainnya. Karena yang ia tahu, menjelang musim
pemilu para calon pemimpin lakunya menjadi semanis madu alam dan janjinya lebih
meyakinkan dari sumpah mantan. Ia muak. Jadi, siapa pun yang menjadi pemenang,
ia pasti akan terima selagi tidak ada pelarangan main games di visi-misinya.
Karena sifatnya
tersebut, Entis kerap dibilang bodoh oleh teman-temannya.
“Kamu itu bodoh banget,
ya. Punya hak pilih tapi gak digunain sama sekali.”
“Bodoh banget, sih. Ini
tuh menyangkut masa depan negeri kita, tahu.”
“Anak muda seharusnya
menggunakan hak pilihnya dengan bijak, jangan buta politik!”
“Ih, amit-amit jabang beibeh, jangan sampai anak gue nanti
apatis kayak si Entis.”
Tapi Entis selalu
santai dan tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Mulut netizen memang demikian. Jangan dibalas biar gak makin panjang.
Toh kalau bibir lamisnya sudah keram, pasti diam sendiri, pikirnya. Ya, itu
strategi para artis menghadapi menghadapi komentar nyinyir yang sangat patut
diterapkan dalam permasalahan ini.
Kendati demikian, Entis
tak pernah tinggal diam jika bacotan-bacotan tersebut tak juga berhenti dan
malah semakin menghardik. Biasanya ia hanya mengutarakan sebuah jawaban
sederhana yang tak kalah bermakna dari quotes-quotes
orang ternama. “Siapa yang bodoh? Saya yang tidak peduli sama pilpres, atau
kamu yang malah asyik mendebatkan ini itu, padahal belum tentu capresnya
mikirin kamu atau mau dijadikan materi debat? Di sini kamu sibuk saling menjatuhkan,
sementara di sana capresnya mungkin lagi asyik mantengin dagelan. Siapa yang
bodoh?”
Semua mendadak bisu,
auto bungkam setiap kali Entis berkata demikian.
***
nice
BalasHapusEmejiiing. Menggelitik mbak.
BalasHapus