Selasa, 26 Maret 2019

Mengenal Duck Syndrome

(Oleh Orion)

Unsur rohani atau kejiwaan manusia merupakan hal yang tak kalah penting untuk diperhatikan. Berkembangnya zaman dan teknologi turut membawa risiko gangguan psikologi yang lebih tinggi karena tekanan yang diterima generasi muda sekarang lebih besar dibanding generasi sebelumnya.
Duck syndrome merupakan analogi yang pertama kali digunakan di Stanford University setelah melihat fenomena bebek berenang. Ketika bebek berenang, hanya bagian atas tubuhnya yang terlihat sangat tenang, sedangkan bagian kakinya bergerak-gerak dibawah air. Kondisi bebek berenang tersebut terlihat sama dengan orang-orang yang mengalami gangguan kecemasan namun pemanpilan luarnya terlihat tenang. Oleh karena itu, duck syndrome digunakan untuk mendeskripsikan orang-orang yang tampak tenang meskipun sebenarnya mengalami gangguan kecemasan berat.
Orang yang mengalami duck syndrome sulit untuk dideteksi. Gangguan ini biasanya muncul saat orang mulai beranjak dewasa. Ada banyak pelajar yang terlihat tenang dan calm diluar padahal mereka tengah merasakan stres berat. Masalah utama yang dialami para pelajar dengan duck syndrome adalah krisis jati diri. Pada saat beranjak dewasa banyak sekali tekanan yang didapatkan dari lingkungan, jenjang pendidikan, dan karir. Mereka akan merasa kesulitan mencari jati diri di tengah tuntutan permasalahan yang beragam. Walaupun merasa berat menjalani hari-hari, orang tersebut akan tetap berusaha terlihat baik-baik saja di hadapan orang lain. Padahal, sebenarnya kondisi psikologis orang tersebut sedang tidak baik atau tengah dilanda stres dan kecemasan berlebih.
Selain itu, duck syndrome dapat ditimbulkan oleh media sosial. Konten-konten media sosial yang mewah dan serba istimewa membuat banyak orang merasa minder. Mereka selalu merasa tidak kaya, tidak populer, dan tidak memiliki sesuatu untuk dibanggakan. Kecemasan terhadap pencapaian diri sendiri akhirnya membuahkan perasaan rendah diri. Perasaan rendah diri tersebut memang tidak ditunjukkan secara jelas. Namun, efek sampingnya dapat mempengaruhi keseimbangan psikologis si penderita.
Orang-orang yang mengalami duck syndrome memiliki mental fake it till you make it. Namun, apa akibatnya?
Membuktikan bahwa anda dapat melakukan semuanya merupakan kondisi buruk yang timbul akibat harapan yang tidak dapat dicapai dan tidak sehat bagi remaja di segala usia. Biasanya, sekolah menengah adalah tempat di mana sindrom ini di mulai. Banyak penderita duck syndrome di perguruan tinggi yang merupakan big fish in a small pond di sekolah menengah mereka.
Banyak siswa sekolah menengah begadang sampai larut malam mengerjakan pekerjaan rumah, selalu menginginkan nilai A, masuk beberapa ekstra kulikuler, dan berharap untuk bermain di setiap akhir pekan. Semua hal tesebut dapat menyebabkan kecemasan, depresi, dan kebiasaan yang tidak sehat.
Ketika mereka sampai di perguruan tinggi, menjadi big fish tidak lagi mudah. Taruhannya semakin tinggi. Selama kuliah, kelas biasanya lebih sulit, dengan lebih banyak pekerjaan rumah, makalah, dan tes. Jika mereka melihat teman-teman sebaya mereka keluar larut malam dan masih mendapatkan nilai yang bagus, mereka merasakan tekanan untuk mencapai hal yang sama dan bersaing dengan siswa terbaik dalam popularitas dan kesempurnaan. Di samping itu, mereka gagal untuk menyadari bahwa mereka semua mungkin adalah korban dari sindrom yang sama dan bahwa siklus tersebut tidak pernah berakhir.
Orang-orang yang sedang mengalami duck syndrome sebaiknya mulai membuka diri terhadap keberadaan orang lain. Tak ada salahnya menceritakan kegelisahan yang sedang dialami kepada sahabat, pasangan, keluarga, atau orang-orang terdekat lainnya. Sehingga beban batin pun akan berkurang dan menciptakan kelegaan. Di samping itu, juga ampuh untuk meminimalkan pengaruh buruk media sosial.
Berhentilah membandingkan diri sendiri dengan kehidupan orang lain di media sosial. Dengan demikian, rasa bahagia dan kepuasan terhadap diri sendiri akan meningkat, dengan menyadari bahwa menetapkan batas bagi diri sendiri bukan berarti kegagalan. Itu berarti, kehidupan yang sehat dan bahagia dengan tujuan yang realistis dan dapat dicapai.
Jangan sampai kamu menjadi salah satu yang mengalami duck syndrome dengan berbagai dampak buruknya. Ingatlah bahwa setiap orang memiliki anugerah dan kelebihannya masing-masing. Karena kamu adalah pribadi unik yang berbeda dengan semua orang.
---

Senin, 25 Maret 2019

SIAPA YANG BODOH?

(Halim Muhammad)

EPISODE 1, GELITIK POLITIK
Walaupun nilai Ujian Akhir Semesternya didominasi oleh C dan D, Entis selalu merasa paling pintar di kelasnya. Ia menganggap teman-temannya telah memanipulasi nilai dengan taktik-taktik klasik dan beragam cara yang lebih kekinian. Mungkin memberikan uang tip, traktir makan siang, Video Call-an, tag postingan instagram, promote akun di instastory, memberikan kecupan di pipi kanan kiri, atau menjual aset atas bawah yang katanya sangat berharga. Entahlah, Entis hanya menganggap kalau teman-teman sekelasnya itu tak pantas mendapat nilai A atau B. Mereka terlalu bodoh untuk seukuran mahasiswa ekonomi semester 4. Bayangkan saja, barang-barang di kelas yang tak berdosa dan tak tahu apa-apa telah menjadi pelampiasan orang-orang tak beradab. Tempat sampah plastik di balik pintu itu sudah tak mampu menelan sampah-sampah sisa cilok, seblak dan kaum-kaum sejenisnya karena perutnya bocor ditendang orang bersepatu mahal. Papan tulis pun sudah hampir menyerupai wajah penuh lubang jerawat, bolong-bolong di beberapa bagian. Tangan-tangan gatal itu telah memperkosanya. Dan yang paling parah adalah keadaan bangku-bangku kuliah yang dipaksa berpisah dengan kawanannya. Mahasiswa-mahasiswa yang mengaku kritis itu telah membentuk 2 kubu tempat duduk dan menyisakan sebuah terowongan lebar penuh debu-debu halus di tengah-tengahnya. Dan yang menjadi induk dari segenap permasalahan tersebut adalah perbedaan pilihan capres. Menurut kubu A, capres cawapres pilihannya sangat layak memimpin negeri ini, sedangkan capres cawapres yang satunya lagi sama sekali tidak memiliki kriteria seorang pemimpin. Pun sebaliknya menurut kubu B. Dan setiap kali terjadi perdebatan antara kedua kubu tersebut, Entis hanya duduk-duduk santai di kursi dosen, bermain Mobile Legend sambil sesekali menyaksikan oknum-oknum orang pintar berdebat. Ia tampak seperti Karni Ilyas versi akhir bulan atau Najwa Shihab versi laki-laki kampret.
Entis terlalu malas mengurusi politik. Baginya politik jauh lebih membingungkan daripada sinetron-sinetron azab kesukaan kaum ibu di kampung halamannya. Sedikit-sedikit saling sindir, sedikit-sedikit bawa konfik. Terlebih banyak oknum yang membawa genre lain ke dalam dunia politik dan menjadikannya semakin menggelitik. Sudah tahu orang-orang di negeri ini mudah tersulut. Sekali menyalakan pematik, 1, 2 kampung terbakar habis. Dapat kabar hoax saja dicerna, disebarkan pula di media sosial dengan caption lebay. Eh, giliran dapat berita baik malah di swipe karena caption-nya kepanjangan dan bingung mau komentar apa. Entis bahkan sempat curiga kalau admin lambe turah itu adalah seorang politikus yang memiliki minat di bidang entertain tapi tidak punya modal buat beli kosmetik. Entahlah, yang pasti itulah alasan mengapa Entis tidak pernah terlibat dalam pemilihan presiden atau pemilu-pemilu lainnya. Karena yang ia tahu, menjelang musim pemilu para calon pemimpin lakunya menjadi semanis madu alam dan janjinya lebih meyakinkan dari sumpah mantan. Ia muak. Jadi, siapa pun yang menjadi pemenang, ia pasti akan terima selagi tidak ada pelarangan main games di visi-misinya.
Karena sifatnya tersebut, Entis kerap dibilang bodoh oleh teman-temannya.
“Kamu itu bodoh banget, ya. Punya hak pilih tapi gak digunain sama sekali.”
“Bodoh banget, sih. Ini tuh menyangkut masa depan negeri kita, tahu.”
“Anak muda seharusnya menggunakan hak pilihnya dengan bijak, jangan buta politik!”
“Ih, amit-amit jabang beibeh, jangan sampai anak gue nanti apatis kayak si Entis.”
Tapi Entis selalu santai dan tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Mulut netizen memang demikian. Jangan dibalas biar gak makin panjang. Toh kalau bibir lamisnya sudah keram, pasti diam sendiri, pikirnya. Ya, itu strategi para artis menghadapi menghadapi komentar nyinyir yang sangat patut diterapkan dalam permasalahan ini.
Kendati demikian, Entis tak pernah tinggal diam jika bacotan-bacotan tersebut tak juga berhenti dan malah semakin menghardik. Biasanya ia hanya mengutarakan sebuah jawaban sederhana yang tak kalah bermakna dari quotes-quotes orang ternama. “Siapa yang bodoh? Saya yang tidak peduli sama pilpres, atau kamu yang malah asyik mendebatkan ini itu, padahal belum tentu capresnya mikirin kamu atau mau dijadikan materi debat? Di sini kamu sibuk saling menjatuhkan, sementara di sana capresnya mungkin lagi asyik mantengin dagelan. Siapa yang bodoh?”
Semua mendadak bisu, auto bungkam setiap kali Entis berkata demikian.
***